Jumat, 08 Mei 2009

bwt teman sahabat..
I don't kno what happened with you both . but I'm happy if you're happy..
please forgive all my false ..
semoga Allah selalu menyanyangi kita semua amin

Rabu, 06 Mei 2009

dpt dr imel mb lilik

20 tahun cinta (pernikahan simulasi)

Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun
tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak.
Maka mereka pun melakukan simulasi pernikahan ....

"Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus
menikah," gerutuku.
Idan tertawa. "Ibumu menanyakan calonmu lagi?" Aku
mengangguk cemberut.

"Apa jawabanmu kali ini?" godanya.

"Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang
makan dan masuk ke kamar."

Idan terbahak. "Kau kekanak-kanakan," katanya.

"Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku
sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan
ibuku malah makin gencar menteror."

Idan tersenyum. "Kau benar-benar seperti anak-anak.
Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan
kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh
tiga."

"Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah
seumur hidupnya," komentarku.

Alis Idan terangkat. "Kenapa?"

"Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan."

"Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit."

"Persis!" potongku. "Untuk apa menikah kalau yang kita
dapat hanya kesulitan?"

"Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya,
sementara keuntungannya lebih banyak?"

"Sok tahu," cibirku. "Kau sendiri belum menikah. Apa
yang kau tahu tentang keuntungan menikah."

"Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri
sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah
berkeluarga."

"Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau
hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?"

Idan tersenyum. "Ya, memang."

"Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!"

"Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau
menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang
pas.".

Dan aku menghela nafas panjang. "Ah, ya. Calon."

"Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga
menikah?"

"Ya," gumamku enggan.

"Bukan karena kau sama sekali antimenikah."
Aku menggeleng. "Jangan bilang siapa-siapa, tapi
kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang
saat datang ke pesta."

"Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu
pacarmu kan?"

"Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus," komentarku
pahit. "Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng
tanganku ke mana pun aku pergi."

"Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng
tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak
pengangguran."

"Idan!" kuayunkan tanganku, tapi --begitu hapalnya ia
dengan reaksiku--ia menghindar sambil tertawa.

"Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar
mengontrak penggandeng tetap?" tanyanya kemudian,
lebih serius.

"Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah
dengan orang yang salah. Kalau saja," aku terdiam.

"Apa?"

"Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap
manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku.
Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki
yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka
memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit,
cemburuan, suka berbohong dan berkhianat."

"Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali."

Aku menggeleng. "Semua laki-laki binatang."

"Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki."

"Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat."

Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia
terkulai di kursinya. "Idan!" desisku. "Nanti
orang-orang memperhatikan kita!"

"Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati
dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi
malaikat," dan ia kembali terkulai, mata tertutup,
lidah terjulur.

"Idan, Idan," desahku. "Kalau kau memang mau menikah,
berobatlah."

Ia tergelak. "Dan kau. Kalau kau memang mau menikah,
percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari
golongan laki-laki."

"Aku tidak bisa, Dan."

"Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin
dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau
akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan
makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau
akan."

"Idan!" walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa
menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu.
Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia
benar-benar telah memahamiku.

"Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?" katanya
kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka
dan kemudian serius hanya dalam selang waktu
sepersekian detik. "Ia pasti sangat ingin kau segera
mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau
tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani
dan melindungimu."

"Jangan bicara begitu," cetusku, kembali manyun.
"Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau
ibuku sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku
mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku
tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus
diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa
menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau
perlu."

"Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah," Idan
membungkuk dalam-dalam. "Jadi, dengan asumsi kau tidak
sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang
ingin kau capai dengan itu?"

Aku tertunduk lemas. "Itulah, Dan," desahku. "Aku
tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku
punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi
menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan
untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk
berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk
menikah."

"Bagaimana dengan keturunan?"

"Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku
bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak
anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau
aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga
dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus
menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil
risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada kepastian
sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan
sepanjang hidupku. Di samping itu, kalau pernikahan
itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang
paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan? Untuk
apa?"

Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. "Cinta
mungkin?"

"Kau terlalu banyak menonton film romantis," olokku.
"Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu
pernikahan?"

"Berapa lama?"

"Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi,
kompromi, frustrasi dan imajinasi."

"Imajinasi?"

"Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki
yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau
harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau
kau bisa jadi gila."

"Astaga," gumam Idan. "Kalau itu terjadi padaku, siapa
menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer
atau Nicole Kidman?"

"Gorila," jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.

"Idan," keluhku. "Berhentilah tertawa. Aku bukan
pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan
aku sebal kau tertawai terus menerus."

Wajahnya serta-merta menjadi serius. "Aku tidak
menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau
tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang
tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah.
Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu
menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah. Tertawalah
keras-keras."

"Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi," gumamku.
"Aku perlu solusi, Dan. Bukan ide-ide konyol."

Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua
sama-sama merenung.

Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. "Pit, aku tahu
ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa
saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu.
Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua,
ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami."

Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk
mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan
dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan
karenanya teramat sangat kocak.

"Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat
sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa
kau percaya kepadaku?"

Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi
sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah
dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir
dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak
berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan
tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak
pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang
paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di
dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol,
hanya Idan orangnya. "Ya. Aku percaya kepadamu."

"Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini
semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku
sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di
balik ideku ini. Percayalah."

"Idan!" potongku tandas. "Ide apa?"

"Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,"
ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang
pada ekspresi wajahku. "Kita akan melakukan
pernikahan."

"Apa?"

"Simulasi!" lanjut Idan sesegera mungkin. "Tentu saja
lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, akad
nikah, kalau perlu honey moon...."

"Bulan madu?"

Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, "Simulasi.
Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi
suami istri --simulasi-- sambil mempelajari kenapa
kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu
berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir
eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak
sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau
bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau
ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita
bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok
untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa
kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen,
tanpa penalti. Bagaimana?"

"Idan," desisku. "Ini ide terbodoh yang pernah
kudengar."

"Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada
awalnya," sanggah Idan mantap. "Pikirkan, Pit. Ini
satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa
pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh
menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan
laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki
sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh
pendirian...."

"Serius, Idan, serius!"

"Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa
pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun."

"Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya
pernikahan...."

"Simulasi," Idan mengingatkan sambil mengangkat
telunjuk.

"OK. Pernikahan simulasi," geramku. "Dan aku akan
menyandang status janda setelah kita bercerai."

"Simulasi."

"Idan!"

"Upit!"

"Oh, Tuhan," aku bangkit dengan marah dan beranjak
keluar. Idan segera menjejeriku.

"Upit, kau tidak perlu semarah ini," katanya. "Apa aku
sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau
pura-pura menikah denganku?"

Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan
menggeleng. "Biarpun wajahmu seperti bunglon
sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan
malang manapun yang mencintaimu."

Matanya berbinar. "Kau tidak marah lagi, kan?"

Aku menggeleng. "Aku bukan marah karena idemu, Dan.
Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali
memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius. Aku
mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak
peduli dengan masalahku."
"Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini,
Pit," ekspresinya tampak begitu tulus.

"Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan."

"Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan
segera menikah, denganku, orang yang selama ini
dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang
tua, ulet, tangguh...," ia berhenti saat melihat raut
wajahku, "ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan
juga dirimu."

Ia diam sejenak. "Aku janji akan menggandeng tanganmu
di setiap pesta. Di mana pun."

Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris
menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas
kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti
sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai
diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang
pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti
sama kurang warasnya dengan Idan.
"Apa aku harus menciummu?" tanyaku nyaris berbisik.

"Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam
mengawasi," matanya kembali tertawa. "Di pipi. Aku
tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua,
kau bebas untuk meninjuku, menjambakku...."

"Idan," teguran itu lebih lembut daripada yang
kuinginkan dan Idan tersenyum.

uaranya bergetar. "Saya terima nikahnya Puspita Kirana
binti Anwar Daud dengan mas kawin tersebut, tunai."

Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia
tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam gelap,
memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang
nyalang nyaris sepanjang malam tadi?

Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar
memenuhi wajahnya. Ibu Idan, walau menyaksikan dari
kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku
juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan
orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia.
Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang
teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan
wajah Pak Penghulu.

Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku.
(Simulasi, Upit, jangan lupa itu. Suami baru
simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh,
kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku
mendongak setelah mencium jemarinya. Ia mengecup
dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu
kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah Pak
Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan
mataku terpaku pada kain batikku.

Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, "Kau pucat
sekali."

"Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi."

"Terlalu nervous?"

"Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh."

Aku tersenyum.

"Bagaimana aku tadi?" bisiknya.

"Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?"

"Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang
kau beri tercuci dengan celanaku."

Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah
membosankan.

Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan
membosankan, koreksiku.


Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan --simulasi--
kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya
dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya, yang
memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin
karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara
pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami
pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah
seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam
pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.

Esok paginya, aku terbangun karena mendengar
suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana,
sedang mendadar telur, sementara di atas meja
terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya
menggoda.

"Aku ada rapat pukul setengah delapan," seru Idan
sambil membalik dadar telurnya. "Aku mesti berangkat
sebelum setengah enam."

Kucicipi nasi goreng buatannya. "Aku tidak tahu kau
pintar memasak."

"Pramuka," komentar Idan tersenyum. Diletakkannya
telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. "Aku
juga pandai tali-temali, semafor, menjahit."

"Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan
masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor,
plus membabat rumput."

Idan terbahak. "Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku
tidak mungkin masak setiap pagi."

"Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu."

"Jangan," Idan menggeleng. "Ia pasti curiga kalau
melihat kita tidur di kamar berbeda."

"Jadi?"

Idan menggaruk kepalanya. "Bisakah kau masak nasi tiap
hari?" pintanya. "Aku punya rice cooker."

Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah?
Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi
besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain
pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana
rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku
mengikuti keinginannya. "Kalau kau mau membawakan lauk
dan sayur bergantian denganku, baik."

Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan
sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu
di kalender yang tergantung di dinding dapur.

"Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan
musyawarah keluarga," katanya saat kembali ke
kursinya.

"Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita
sepakati," lanjutnya. "Misalnya, aku ingin kau beri
tahu aku kalau kau akan pulang terlambat."

Dahiku berkerut. "Untuk apa?"

"Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau
akan pulang terlambat?"

Aku menggeleng. "Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa
menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan
hal-hal yang bodoh."

"Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu
kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat."

"Kau kedengaran seperti diktator."

"Kurasa aku tidak minta terlalu banyak."

"Itu terlalu banyak untukku."

Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata
menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya
marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya
kali ini. Ia benar-benar marah.

"Ingat," lanjutku hati-hati. "Aku bukan benar-benar
istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti
itu."

Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku
jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat
sunyi senyap. "Baik. Kalau itu maumu," desisnya
kemudian.

Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin
mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga
permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan
memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku
yakin Idan akan semakin berang karenanya.

Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan
pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Tak
lama ia kembali menemuiku di ruang makan. "Aku pergi,
Pit," katanya dingin.

Aku bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk
memperbaiki situasi. "Sebagian teman-temanku
menyarankan ini," ujarku sambil meraih tangan kanan
Idan dan menempelkannya di bibirku. "Kupikir ada
baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus
mencium keningku."

Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya
yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa
lagi.

Dasar tidak tahu terima kasih!

Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam
perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum
pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh
kesendirian dan sebagian untuk menghindari
pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan
kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore
hari.

Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk
di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak berkorban untuk
permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin
mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri,
mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan
sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang
sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut
terlalu banyak.

Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan
Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya
permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan
adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya
wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan
keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari
permainan ini.

Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku
benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan
kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini.
Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih
kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan akan
menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.

Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan
kosong. Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan
belum pulang?

Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati
mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya,
memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku,
kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak
kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.

Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi?
Kekanak-kanakan sekali!

Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi
semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali.
Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang
setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.
Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada.
Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk
menghubungi polisi dan rumah sakit.

Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian
terlintas di benakku saat aku mengangkat receiver.

"Upit?"

"Idan?" jeritku. "Kau di mana?"

"Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu
saja. Boleh aku pulang?"

"Idan, ini rumahmu!" meskipun aku tersenyum, air mata
kelegaan mulai meleleh di pipiku. "Kau di mana?"

"Di luar."

"Di luar rumah?"

"Ya. Dan aku lapar."

"Oh, Tuhan...."

Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan
berdiri di sisi mobilnya. Entah sudah berapa lama ia
di sana.

"Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon
kantor polisi!" teriakku kepadanya.

"Aku juga rindu kepadamu!" balas Idan tertawa. Dan
mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.

"Di mana saja kau dua hari ini?"

"Di hotel kecil dekat kantor."

Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut
kesukaannya. Ia tidak berkomentar ketika melihat bahwa
aku sudah membeli semua makanan kegemarannya. Ia hanya
makan dua kali lebih lahap.

"Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?" suaraku
bergetar.

"Aku perlu baju bersih," ia tertawa malu. "Laundri
hotel mahal sekali."

Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke
arahku, ia menyambung, "Selain itu, aku khawatir
karena kau sendirian di sini."

Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.

"Aku akan pulang terlambat besok," ucapku perlahan.
"Aku harus lembur. Dikejar deadline."

Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik
menatapku. Tapi mataku terpaku pada es krim di
hadapanku.

"Oke," katanya. "Kau keberatan kalau aku makan malam
duluan?"

"Asal kau sisakan cukup untukku," aku tersenyum.

Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.

Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran
yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku
bisa memaklumi kegemarannya nonton film action –genre
yang paling tidak kuminati, dan sepak bola—olahraga
yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa
memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan
memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah
seperti yang biasa kulakukan.

Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya
menghabiskan akhir pekannya. Setiap Minggu pagi ia
berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola
dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul
setengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang
selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu
galeri ke galeri lain, dari satu pameran lukisan ke
yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara
makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa
kupahami. Aku tak sanggup menontonnya main bola atau
menemaninya memancing, karena aku dengan sangat cepat
akan merasa jemu.

Sebulan pertama aku berusaha mengerti. Ia selalu
pulang dengan mata berbinar hingga aku tak tega
mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima kesabaranku
tandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol
air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku
memintanya untuk tidak memancing.

"Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini," pintaku.

"Kau kan bisa pergi sendiri," katanya sambil
memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.

"Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng
tanganku ke mana pun."

"Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit," ia
asih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan epatu
bolanya. "Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk
mencoba tempat memancing baru."

"Kau bisa mencobanya minggu depan."

"Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan
sangat rakus hari ini," ia tersenyum sambil
melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. "Aku bisa
memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!"

"Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak
berlaku lagi," gumamku.

"Pakai voucher dariku saja," sahutnya ringan sambil
mulai lari-lari di tempat. "Berapa diskon yang kau
dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu
cukup?"

"Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di
salon."

"Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi
dengan lima belas ribu."

"Oh, Tuhan!"

Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku
dengan tangan di pinggang. "Pit, kau sudah cantik
begini. Tidak perlu ke salon lagi."

"Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima
kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari rutinitas
harianku, dan aku memilih melakukannya dengan
jalan-jalan."

"Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak
melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan
lebih tidak keberatan."

"Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa
enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman."

"Kalau begitu ajaklah teman-temanmu."

"Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan
suami-suami mereka."

Idan mengerutkan keningnya. "Kau mau melewatkan hari
Minggu denganku?"

"Ya!"

"Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh
ikut ke lapangan sepak bola lagi. Aku akan senang
kalau kau ada di sana."

"Idan!" jeritku. "Kau ini buta, tuli atau imbesil sih?
Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi
memancing!"

Mata Idan menyipit. "Dan kau tahu aku alergi
jalan-jalan ke mal," desisnya.

"Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali."

"Mengalah!" suaranya meninggi. "Apa aku masih kurang
mengalah selama ini? Pit, kau sudah menyita enam kali
dua puluh empat jam waktuku, apa kau tidak bisa
memberiku...."

"Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya
benar-benar bertemu dan bicara satu jam saat sarapan
dan satu jam waktu makan malam!"

"Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih
banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak! Kau
lebih memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti
dan Flamingo...."
"Placido Domingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga
untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh
tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan
satu bola kulit!"

"Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti
dari film-filmmu yang becek air mata itu!"

"Kau kekanak-kanakan!"

"Dan kau, Tuan Putri, kau egois!"

Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar
lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan
membanting pintu di belakangku.

Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar
dengan suaminya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku
benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai
membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira
sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan
melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi
selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya.
Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak
aku menikah --simulasi-- dengannya, mengurangi jadwal
clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin,
memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang
kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku?
Tidak!

Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim
cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan di depan
televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku
kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu
pun habis tanpa terasa.

Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut.
Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke
ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.


"Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan
dandan sedikit," katanya.

"Aku tidak mau pergi ke mal."

"Kau bilang tadi pagi...."

"Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau
gatal-gatal karena alergimu kumat."

"Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa
pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat...."

"Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi
memancing sekarang kalau kau mau."

"Jangan seperti anak kecil begini, Pit," geramnya.
"Ayo!"

"Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti
dulu lagi, silakan!"

Wajah Idan benar-benar merah sekarang. "Upit! Jangan
main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi
jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang
hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam
lagi."

"Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku
tetap tak mau pergi."

"Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian,
makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri
sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar...."

"Idan!" jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke
arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang
telah mencair melumuri t-shirtnya. Aku lari ke
kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke
ranjang, sesenggukan.

Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku
takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia
lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan
mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku
terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan
kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.

Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah
pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara
aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku
makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada
pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke
rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera
memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor. Saat itu
Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira,
bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang.
Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu
kamar yang terkuak.

"Apa-apaan ini, Pit?" tanyanya.

"Aku pulang ke rumah Ibu."

Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi
gerak-gerikku. "Semudah ini kau menyerah?"

"Ini di luar dugaanku."

"Apa?"

"Aku tidak mengira aku menikahi monster."

Idan terdiam, menunduk.

"Aku...," katanya lirih. "Aku bawa pizza kesukaanmu."

"Aku sudah terlalu gemuk."

Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, "Tidak. Kau
cantik."

"Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat?
Penilaianmu tidak punya arti apa-apa."

"Aku sudah mencoba jadi suami yang baik."

"Kau gagal."

"Setidaknya aku mencoba. Kau ... kau tidak melakukan
apapun supaya pernikahan kitaberhasil...."

"Simulasi."

Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat.
"Simulasi."

"Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak.
Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil
keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka
menikah. Apalagi denganmu."

Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia
keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur.
Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku
tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini.
Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai
diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret
koporku keluar.

"Setidaknya tunggulah sampai hujan reda," suara Idan
menyambutku.

"Terlalu lama," gumamku. "Aku tidak bisa tinggal
denganmu selama itu."

Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku
basah kuyup saat aku membuka pintu gerbang.
Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di
benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam
genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah,
aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari
mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya, air
mataku larut dalam siraman hujan.

Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan
apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil
itu dari luar.

"Ayo pulang," katanya.

Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.

Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan
perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak
memberiku kesempatan untuk melarikan diri. Setiba di
dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di
saku.

"Ganti bajumu," katanya.

"Semua bajuku di dalam kopor."

"Ambil bajuku."

"Tidak akan pernah!"

Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku
lurus dengan mata berkobar,"Ini bukan waktunya
melawanku, Pit. Kau bisa sakit!"

"Monster," desisku.

Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit
dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan
menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan
aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa
keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta
diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setelah itu
semuanya kabur.

Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat.
Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti
kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan
menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari
salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah
membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku
terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan
tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku
terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah
padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari
hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari
rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat
jendela, membaca.

"Ibu."

Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat
ia menghampiriku. "Bagaimana? Sudah enakan?"

"Idan mana?" bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin
seharusnya aku bertanya di mana aku sekarang atau
setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan
pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri
sendiri.

"Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang."

Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.

"Ibu sudah berapa lama di sini?"

"Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?"

Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta
terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku
adalah,Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku
berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas
luruh satu-satu.

Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur.
Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi
dengannya. "Bagaimana, Bu?" tanyanya, suaranya
mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya
hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan.Dengan
punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun
aku sanggup menepiskan tangannya dengan
tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau
melakukannya.

"Tadi bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur
lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah
mau minum susu."

Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat
dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti,
jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit
dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan
ibuku.

"Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok."

Ibu tertawa kecil. "Kau sendiri? Kau tidak tidur entah
berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci,
membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak
capai?"

"Saya pakai baterai Energizer, Bu."

Ibu tertawa lagi, "Idan, Idan. Kau mesti istirahat
juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa
mengurusmu sesabar kau merawat dia."

Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!

"Sudah tanggung jawab saya, Bu."

Alangkah klisenya!

Sunyi. "Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?"

"Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon
Ibu lagi."

"Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti
malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah
masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang
dia mau."

"Ya, Bu."

"Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah
baikan."

"Baik, Bu."

Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu
mimpi buruk untuknya.

Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang
menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia
melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya
karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang
membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya,
bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi.
Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku
benci, sangat benci padanya.

Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam
itu. Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku
menolak saat ia memintaku makan obat. Aku memintanya
membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya
lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi,
menutup lagi entah berapa belas kali. Aku memintanya
membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi
instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang
kubuang ke lantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di
meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang
hanya kucuil sedikit. Pijatannya di kakiku terlalu
keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa.
Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku
membangunkannya untuk menyalakan televisi agar aku
bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai
mengangguk terlelap.

Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan
mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah
dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak
mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak
segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan
dalam suaranya -- yang hanya bisa lahir dari
kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya -- yang aku
tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku
dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga
tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya
sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan
kebencianku justru musnah dan berganti kasihan,
sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak bisa
kuelakkan.

Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk
di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran yang
menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap
kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu.
Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu
seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku
dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah
membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang
menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan
itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?

Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak
meminta Idan menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama
bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran
konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk
menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru
memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa
sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?

Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku
dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia
membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes
ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia
telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku
tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah
menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan
meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar
dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan
hidup. Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat
spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan
bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah
diganti dengan yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir
ranjangku, menambahkan gula pada susu cokelatku dan
mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis
karena terharu.

"Kau tidak ke kantor?" tanyaku mencoba membuka
percakapan; kata-kata ramah pertama yang kuucapkan
padanya setelah pertengkaran kami.

"Ini hari Minggu, Pit."

"Aku sudah sakit selama seminggu?" bisikku tak
percaya.

"Ya," Idan tersenyum. "Tapi aku senang kau sudah
sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor
memikirkanmu."

"Ibuku kan di sini."

"Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar
tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu.
Maaf."

Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya.
Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan
pagi. "Tidak main bola?"

Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi
dengan selai nenas. "Aku mau memberi kesempatan pada
Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku
cadangan."

Aku tersenyum.

"Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku.
Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu," ia
mengangkat bahu dan tersenyum.

"Kau mau pergi memancing nanti sore?"

Ia menggeleng lagi.

"Kenapa?"

"Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang
biak, Pit. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah."


"Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima
kasihku kepada mereka, ya."

"Terima kasih untuk apa?"

Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak
kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi yang keluar dari
mulutku adalah, "Karena meminjamkanmu untukku hari
ini."

Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya
dan disentuhnya lenganku. "Lain kali kalau kau ingin
kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari
sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku
sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa
begitu saja membatalkannya kan?"

Aku mengangguk dengan leher tersumbat.

"Aku juga janji tidak akan sering nonton film action
lagi," katanya kemudian. "Kita memang perlu ngobrol
lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu
asin."

"Selamat ulang tahun, Pit."

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. "Idan! Untuk
apa kau sepagi ini di kamarku!"

"Memberimu selamat ulang tahun," jawabnya polos. Dan
ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan
menarikku hingga berdiri. "Ayo! Aku mau menunjukkan
hadiah ulang tahunmu dariku!"

Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di
depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu,
satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai
programming software yang digunakannya untuk bekerja.
Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak
secanggih milik Idan.

Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku
dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku
mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku.
Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku
menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk
itu.

"Kau lihat?" Idan memotong renunganku.

"Apa?"

"Hadiahku."

Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan
tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan
mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi
Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah
membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan
apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak
berdaya.

"Kau tidak menemukannya?" tanya Idan, dengan setitik
kecewa dalam suaranya.

Aku menggeleng.

"Aku menambah memori komputermu," akunya kemudian. Dan
melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.

"Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat."

Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan
begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa
detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa.
"Oh," hanya itu yang bisa kukatakan. "Terima kasih."
"Kau boleh memelukku kalau mau," katanya tersenyum dan
membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan
tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari
kemarin.

Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan
selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki
ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak
seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada
sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai
mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti
berdenyut.

Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu,
lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti
mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.

Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika
ya, aku menunggu di tempat biasa.

Mungkinkah?

Aku keluar untuk makan siang lebih awal,
mengabaikangodaan teman-temanku yang tak kenal ampun.

Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih
itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan
dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu. Hanya
satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku
mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak
pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan
itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana
dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu
aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan
dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan
kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih
serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang
satu dindingnya.

Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu
masihsedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah.
Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa
sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun,
yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis
berusia dua puluh tiga tahun, yang tercabik di antara
cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang
menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian
hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa
lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih
begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini
dan saat itu.

Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku,
menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. "Ita,"
kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan
wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis
seperti yang kukenang. "Kau datang."

"Halo, Pram," sapaku sembari duduk di hadapannya, tak
melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar
dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris,
dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada.
Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi
kurasakan tentang siapa pun juga. Menggelikan sekali
kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian
terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.

"Terima kasih mawarnya," ujarku, sedatar yang mampu
kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan
semuanya.

"Kau masih ingat."

"Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun," katanya
tersenyum.
"Kapan kau pulang?"

"Tadi pagi."

"Dengan anak istrimu?"

Pram tertawa kecil. "Ini agak memalukan. Tapi aku
masih sendiri, Ita."

Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak
tahu harus mengatakan apa.

"Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun
selain denganmu," senyumnya padam dan di matanya
bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin masih
bisa meluluhkan hatiku. "Sepuluh tahun aku mencari,
dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu."

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun
lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku
menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang
telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja,
bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi.
Aku tak bersedia hanya menjadi
bayangannya,terperangkap dan layu di negeri asing,
walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku.
Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang
dengan teratur, tak satu pun kubalas. Bertahun-tahun
ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang
semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai
suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan
dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki
sesempurna Pram pun suatu ketika
akan melupakanku.

"Kau sendiri bagaimana, Ta?"

"Aku sekarang editor senior," jawaban itu terdengar
menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan
di sisi... cinta? Kesetiaan?

"Selamat!" ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata
itu menyakiti. "Aku selalu yakin kau yang terbaik
untuk pekerjaan itu."

"Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua," ujarku
lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan "ya"? Sepuluh
tahun bersama Pram, seperti apa?

Ia menggeleng. "Aku hanya memintamu memilih."

Matanya tertambat pada cincin di jari manisku.
Suaranya pelan saat ia bertanya, "Kau sudah menikah?"

Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup. "Siapa?"
tanyanya lirih.

"Idan," jawabku kaku.

"Idan? Irdansyah temanmu?"

"Sahabatku."

"Sahabatmu," desahnya. "Sudah berapa putramu?"

Aku menggeleng. "Belum ada," bisikku.

Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan
bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya,
dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak
mungil dari sakunya.

"Aku...," dibukanya kotak itu. "...Aku sendiri
menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi,
Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, di
benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam
sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti
sudah menikah.
Tapi...."

Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu
semi-mulia. Aku terkesima.

"Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang
membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini
darinya," tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan
gelang itu di tanganku.

"Terima kasih," gumamku terpesona. "Cantik sekali."

"Kau suka?"

Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun
dari Idan. "Kau.... Sebetulnya kau tidak perlu
repot-repot...," suaraku keluar dengan susah payah.

"Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku
yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah
membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap
kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak
mengingatmu," ia tertawa kecil. "Tapi aku tidak bisa
membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali.
Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam
radius dua ratus lima puluh kilometer."

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat
pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah
seperti apa yang akan membuatku bahagia? Apa ia
mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam
hati. Tidak. Tidak.

Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang
dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang
kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh
tahun berada di negara lain telah menjadikan Pram yang
dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan
terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua
itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu
menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat, sambatku
kepada diri sendiri.

Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga
jadi salah satu kegemarannya. "Kalau saja kau
bersamaku, Ta," katanya dengan mata berbinar. "Kita
bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari
barang antik...."

Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara.
"Maaf," katanya sejenak kemudian.

"Aku harus kembali ke kantor," gumamku kaku.

"Baiklah. Mau kuantar?"

"Aku ada mobil."

Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. "Ita, aku
tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak
keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali
selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa
mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan
artshop."
Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku
serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu
yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa
mengucapkan ya.

Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya
meredup.

"Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,"
katanya. "Aku tidak punya banyak teman di sini."

"Aku pikir-pikir dulu," jawabku cepat-cepat, sebelum
hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan
Pram.

Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu
nama. Di belakangnya ia menuliskan sederet nomor.
"Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu."

Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu
lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk
kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku
lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa
membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan
lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama
lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan
Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau
aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang
ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya
sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau.
Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan
berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua
padanya?

Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang
kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup
dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin.
Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat
atau lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan
kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan
pernah ada lagi? Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.

Aku memikirkanmu.

Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum,
mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.

Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus
mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai?

Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh
di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya.
Dan itu mustahil.

Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah
kuhapal di luar kepala itu. "Kalau kau ada waktu, kita
bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat
kantorku."

"Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak,
Ita."

Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram,
mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang
lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri
betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram,
membicarakan seribu satu hal yang tak pernah
kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama
membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba
bertanya.
"Kenapa kau menikah dengan Idan?"

"Kenapa kau bertanya?"

"Seingatku, ia bukan tipemu."

Aku tertunduk.

"Kenapa, Ita?"

"Idan mencintaiku," bisikku pelan.

"Apa kau mencintainya."

Kebisuanku memberinya jawaban.

"Apa kau bahagia?" lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. "Ya."

"Jangan berbohong."

"Idan suami yang baik."

"Tapi apa kau bahagia?"

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa
sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?

"Berapa lama kau menikah dengan Idan?"

"Setahun."

"Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau
menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan...."

"Stop."

Aku bangkit dan meninggalkannya.

Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena
pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku
sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu
pernikahan tidak membuatmu bahagia?

Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur
dalam genangan air mataku.

"Ita," tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah
memasuki ruangan. "Ada apa?"

"Tidak apa-apa," bisikku, mencoba mengendalikan diri.
"Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan."

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor
kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah
dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya
kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan
perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan
masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami
simulasiku.

"Idan."

"Upit? Ada apa pagi-pagi begini?"

"Aku .... Kau tahu ...," aku terbata. Bagaimana mulai
menceritakan kepada suamiku -- walaupun hanya
simulasi-- bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada
lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia
tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat
segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat
tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia
adalah
suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan
menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga
mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam
untuk dilakukan.

"Ya?" desak Idan.

"Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?"

"Sekretarismu? Tentu."

"Bekas pacarnya yang pilot itu kembali."

"Lalu?"

"Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak
tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku
jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si
bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri."

"Tapi Indri sudah punya anak dua kan?"

"Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah.
Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa."

"Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?"

Aku menghela napas. "Indri bertanya apa yang mesti dia
lakukan. Aku tak bisa menjawab."

"Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu
sebentar," meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku
bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung
sana, "Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah
dulu. Aku menyusul." Istriku. Aku istrinya. Istrinya.
Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.

"Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku
...," suara Idan kembali di telepon.

"Karena kau yang membuatkan kopi?"

"Kau!" ia tertawa, lalu segera kembali serius.
"...Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka
tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka
sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga
harus diperhitungkan."

"...Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan
suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa
dipertahankan?"

"Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar
mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya
terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka
benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin
mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau
hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa
kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah
jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa,
bukan lagi remaja yang masih hijau."

"Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan
suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya."

"Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?"

"Keadaan."

"Maksudnya?"

"Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang
tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri
dilangkahi."
"Astaga. Kasihan sekali."

"Jadi bagaimana?"

Idan diam sejenak. "Aku tidak tahu, Pit. Yang aku
tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan
seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan
pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia
karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau
ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia
akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di
permukaan, tidak utuh, seperti suaminya."

"Lantas aku mesti bilang apa?"

"Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja
ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang
reputasinya tidak diragukan lagi."

"Kau sama sekali tidak membantu," desahku.

"Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa
diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki
teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi
rumah tangga orang."

"Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu."

"Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau
membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat
untuk memberimu saran yang tak berguna."

Aku tertawa pahit. "Ya, sudah. Pergilah buat kopi
sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu."

"Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love
you, Darling!" ia berteriak. Lalu kudengar suaranya,
sedikit jauh dari telepon. "Iya, Pak, sebentar. Istri
saya ...."

Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan
sendiri.

"Kita tidak bisa bertemu lagi Pram," ujarku kepada
Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan
hilang saat kata-kata itu kuucapkan.

"Kenapa? Idan melarangmu?"

"Dia tidak tahu apa-apa."

"Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu
sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan
orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau
bisa mendapatkan semuanya?"

Kugigit bibirku saat setetes air bergulir di pipiku.

"Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu
dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini,
aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya
mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai
hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya
apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita
akan miliki segalanya ...."

"Hentikan," potongku dengan suara bergetar.

"Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha
mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan
tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh
mundur.Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak
ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan
berhenti sampai kau kembali denganku."

"Aku tidak bisa ...."

"Kenapa tidak?"

Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah
permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya
sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali
memutuskannya?

"Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya,
jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa
mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau
simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah
bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah
dengan perempuan yang mencintai lelaki lain."

"Aku ...."

"Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah
takdir."

Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas
panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai
dan dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan
mataku.

"Aku tidak mencintaimu," gumamku.

"Lebih keras lagi."

"Aku tidak mencintaimu."

"Kau berbohong."

Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup
mengucapkan, "Ya."
"Ita," suara Pram gemetar. "Aku berjanji untuk selalu
membuatmu bahagia."

Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan
berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan
berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara
padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan
sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku.
Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku
itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya
sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah
denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat
menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu,
keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang
terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti
akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu
tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan
menyampaikannya pada Idan?

Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk
mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah
datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya
membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.

"Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman,
Ta. Dan kau harus menempuh masa idahmu dulu. Belum
lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang
pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera
setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini
sepuluh bulan lagi."

"Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi ...
Entahlah."

"Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"

"Aku ...." aku tergagap dan menggeleng.

"Jadi, bicaralah dengan Idan."

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah
bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku
tak akan menundanya lagi.

Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di
teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku
mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa
sebenarnya.

"Kenapa kau sudah di rumah?" tanyaku.

Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan
menggandeng tanganku ke dalam rumah.

"Ada apa?"

"Sst!"

Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga
dikembangkannya tangannya.

Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup
lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang
kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan
gambar ... mawar putih?

"Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,"
katanya.

Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan
benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit
keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah
warna.
"Aku ... aku tidak punya hadiah apa-apa," gumamku
sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan
kalutku. "Aku lupa ...."

Idan tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu
sendiri," katanya. Ia duduk di ayunan itu. "Ayo,"
katanya sambil menarik tanganku.

Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan
apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu
hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan
harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara
aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam
tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu
di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan.
Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan
segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam
hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas.
Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah
kubangun runtuh berserpihan.

"Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak
nakal," teguran Idan membuyarkan renunganku. "Ada
apa?"

Kutatap matanya. "Dan, Pram pulang."

Dahinya berkerut. "Pram?"

"Pacarku yang pergi ke Jerman."

"Oh," ia mengangguk. "Kapan?"

"Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun."

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa
setelah itu.

"Dia sudah menikah?" tanya Idan, seperti mendorongku
bicara.

Aku menggeleng.

"Lalu?"

"Dia ingin menikah denganku," ujarku cepat-cepat,
tanpa memandang wajahnya. "Ia hanya di sini sepuluh
bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera
bercerai."

"Oh."

Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat.
Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan,
seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia mencintaimu?"

Aku mengangguk.

"Kau yakin akan bahagia dengannya?"

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

"Kalau begitu, selamat," ketulusannya terdengar
hangat. "Aku ikut bahagia."

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak
menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega
meruahi hatiku.

Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya
kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang
mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar
kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
"Dan?" tegurku.

"Ya?"

"Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau
pikirkan?"

"Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak
selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai
denganku."

Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku.
"Pit, bangun!"

"Ada apa?" gumamku. Jam alarm di sisi ranjangku baru
menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.

"Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama
meninggal."

Aku terlonjak duduk. "Apa?"

"Ganti baju," perintah Idan sambil meninggalkan
kamarku.

Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar.
"Kapan."

"Baru saja."

"Di?"

"Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi."

"Idan ...."

Ia membanting pintu kamar di depanku.

Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku
dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua
lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup.
Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.

"Dan, aku sudah siap."

Tidak ada jawaban.

Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan
cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk
di sudut, wajahnya tersembunyi di balik kedua
tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku
terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika
untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi
menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis.

Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya.
Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang rasional dan
berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima
para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya
dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.

Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan
kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira,
menghampiriku.

"Pit, bawa Idan pulang."

"Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?"

Kak Ira menggeleng. "Coba lihat sendiri," katanya
sambil menunjuk ke halaman belakang.

Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang
rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan
melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar
ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam
dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat
asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok
dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang.

Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di
asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak
menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus
segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan
tentang ibunya.

"Aku mau pulang, Dan," ujarku sambil memegang
tangannya.

Ia menggeleng pelan. "Aku akan menginap di sini. Kau
pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja."

"Aku tidak mau sendirian di rumah."

Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia
berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk
mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku
dan berbisik, "Aku senang Idan sudah menikah denganmu.
Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti
ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya
Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga
puluh tiga tahun."

Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira
dengan hati menggigil. Bagaimana bisa kukatakan
kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk
mengakhiri pernikahan ini secepatnya?

Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.

"Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?"

"Nanti saja. Aku tidak lapar."

"Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau
sakit. Mau ya?"

Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin
khawatir melihatnya.

"Tunggu di sini," ujarku lagi. "Aku tidak akan lama."

Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es,
aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan
membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir
bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan
aku hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa
yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari
keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin
meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.

Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus
punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit
menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini
membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan
selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di
dahinya. Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan
kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku,
ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah
ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka
kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang
menggigil.

"Maaf, Pit," bisiknya. "Aku tidak bisa menangis di
depan kakak-kakakku. Mereka ...."

"Aku tahu. Tidak apa-apa," tanganku masih gemetar saat
aku mengelus rambutnya. "Aku buatkan teh panas, nanti
kau minum, ya."

Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika
aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya
sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat
setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya,
ia memegang tanganku.

"Terima kasih."

"Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku."

"Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan
buatan," ia tersenyum nakal.

"Oh, kau!" aku ikut tersenyum, lega.

"Dan untuk menikah denganku," lanjut Idan kemudian,
ekspresinya begitu serius. "Setidak-tidaknya sebelum
meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah
beristri."

Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat
aku bicara, "Aku yang mesti berterima kasih kepadamu."

"Untuk apa?"

"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk
kesabaranmu. Pengorbananmu."

Idan tersenyum kecil. "Aku tidak melakukan apapun yang
tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan
untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih."

"Jangan memaksa," aku mencoba bercanda. "Aku yang
harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit."

Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak
sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa
kekhawatiranku.

"Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau
terlibat dengan ide gilaku ini," katanya.

"Entahlah, Dan," aku tertawa kecil. "Mungkin aku sudah
sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal
perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban
yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah
sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak
ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang
menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah."

"Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?"
tanyanya dengan mimik lebih serius.

Aku terdiam sejenak. "Banyak," jawabku akhirnya. "Aku
belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau
monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan
yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa
kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila
kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak
selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu
kemenangan bersama."

Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan
cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi
aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

"Kau memang selalu pintar bicara," Idan tersenyum.

"Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?"

"Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah
sebahagia ini lagi setelah kau pergi."

Aku tertegun. "Apa maksudmu?"

Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. "Tahun
ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap
aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi
berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia
ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau
tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia
paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi
sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai
berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan
itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai
seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan
akal sehat."

Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan
sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.

"Aku masih belum mengerti," bisikku.

"Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi
untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya
untukku."

"Apa maksudmu kau mencintaiku?" suaraku tercekik.

"Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,"
kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti
sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. "Aku
mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris
melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu
kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak
pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini."

"Kau ... kau tidak pernah ...."

"Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu
sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati
karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku
menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki
idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi.
Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak
mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua
OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus
yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku
terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat
menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani.
Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya
keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus
terang kepadamu."

"Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan," ujarku
lirih. "Kau istimewa dengan caramu sendiri."

Ia mengangkat bahu. "Tidak cukup untuk kau cintai."

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata
Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah
satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia
kelihatan sungguh-sungguh.

"Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan
berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?" tanyaku
datar.

Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya,
sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. "Aku
sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua
ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku
mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan
mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi.
Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki
cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau
benci kepadaku atau melupakanku sekalipun."

Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di
matanya saat ia kembali menatapku. "Dan kalau kau
tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini
bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan
akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan
pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi
setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar
sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu
lebih dari yang pernah kutunjukkan."

Ia menghela napas berat. "Tapi itu semua keinginanku.
Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu
kebahagiaanmu juga."

Lama kami berdua saling berpandangan.

"Terima kasih, Dan," desahku akhirnya. Kupeluk ia
erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.

"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa
menunda proses perceraian itu. Idan baru saja
kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal
perceraian saat ini."

"Berapa lama?"

"Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin."

"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak
bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak
tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin
tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita
akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati
berdua."

"Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan
Idan sekarang. Dia membutuhkan aku."

"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan
dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa
seterusnya bersama?" Aku menghela napas panjang.
"Entahlah, Pram," bisikku.


"Apa maksudmu?" suara Pram terdengar kaget.

"Aku .... Aku tidak akan bahagia kalau Idan
menderita."

"Ita! Kau tidak .... Dengar, pikir baik-baik.
Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan
bahagia?"

"Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya."

"Tapi kau tidak bahagia!"

"Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku
bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia."

"Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan
kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan
saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan
ini."

"Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri."

"Ita, kau tidak mencintainya!"

"Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup."

"Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau
lupa kalau aku sangat mencintaimu?"

"Aku tidak pernah akan lupa, Pram."

"Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat
ini?"

"Idan mengajariku tentang cinta."

"Hanya karena itu?"

"Juga karena aku yakin, aku akan belajar
mencintainya."

"Ita ...."

"Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan
sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia
lagi."

Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

"Upit."

Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah
berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh
tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di
lantai di sisi kursiku.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu
dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

"Aku tak bisa melihatmu begini," lanjutnya pelan. "Ini
keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar
akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?"

Aku mengangguk.

"Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit."

Aku mengangguk.

"Kau akan menyesal."

Aku mengangguk.

"Kau akan sedih, kecewa ...."

Aku mengangguk.

"Kau tidak mencintaiku."

Aku menggeleng.

Idan terbelalak. "Upit!" pekiknya tertahan.

"Idan!"

TAMAT

Kadang seseorang yang hidup bersama kita bukanlah
orang yang kita inginkan...tetapi orang yang kita
butuhkan...akan tetapi bukankah lebih bahagia dicintai
daripada mencintai tetapi tidak dicintai? apakah
sahabat bisa menjadi pasangan sejati? apakah
pernikahan selalu bahagia? apakah untuk bahagia harus
bersandiwara?walaupun memang dunia ini panggung
sandiwara..
Don't love for A reason...

*dikutip dari jurnal-pinkq